Wednesday, November 24, 2010

I. Sebuah Model Dialog Kristen-Islam (2/3)





 

C. Al-Qur'an - Firman Tuhan?

Al-Qur'an lebih dari sekedar tradisi lisan yang bisa dengan mudah diubah. Ia adalah firman yang tertulis, yang diturunkan sekali untuk selamanya, sehingga dengan sendirinya tidak dapat diubah. Dalam hal ini ia sama dengan Bibel. Melalui keberadaannya yang direkam lewat tulisan, al-Qur'an memelihara suatu kekokohan luar biasa, kendati ada perubahan dan keanekaragaman sejarah Islam dari abad ke abad, dari generasi ke generasi, dari orang ke orang. Apa yang tertulis ya tertulis. Meskipun terdapat penafsiran-penafsiran dan ulasan-ulasan yang berbeda, meskipun terdapat bentuk-bentuk yang diambil oleh hukum Islam, syari'ah, al-Qur'an tetap sebagai sebutan yang sama (the common denominator), sesuatu seperti "benang hijau" Muhammad melintasi seluruh bentuk, ritual, dan lembaga-lembaga Islam. Orang yang ingin tahu baik mengenai Islam historis maupun Islam normatif, tidak dapat mengelak untuk kembali pada asalnya, yaitu al-Qur'an abad ke-7.
Meski al-Qur'an sama sekali tidak mentakdirkan (menetapkan terlebih dahulu) perkembangan Islam, ia secara paling pasti memberi inspirasi terhadap perkembangan Islam. Ia memasuki seluruh syari'ah, mencetak sistem legal (hukum) dan mistisisme, seni, dan segenap mentalitas. Para penafsir datang dan pergi, tapi al-Qur'an tetap utuh: ia satu-satunya yang paling konstan dalam Islam di antara variabel-variabel lain yang tak terhitung. Ia memperlengkapi Islam dengan kewajiban moral, dinamisme eksternal, dan kedalaman keagamaan, di samping ajaran-ajaran abadi dan prinsip-prinsip moral yang khas: tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan, keadilan sosial dan solidaritas Muslim. Dengan begitu al-Qur'an adalah Kitab Suci Islam yang, sebagaimana dipahami dari bentuk tertulisnya, bukan firman manusia, melainkan firman Tuhan. Bagi orang-orang Muslim, oleh sebab itu, firman Tuhan dituliskan dalam sebuah kitab. Pertanyaan kita, betapa pun juga: Apakah kitab tersebut benar-benar firman Tuhan?
Selama berabad-abad, pertanyaan seperti ini dilarang diajukan. Baik orang-orang Muslim maupun orang-orang Kristen diancam pengucilan dengan segala konsekuensinya. Dan siapa yang mampu menolak bahwa pertanyaan tersebut telah menyebabkan perpecahan-perpecahan politik yang tajam di antara bangsa-banga di dunia, dari abad-abad pertama penaklukan Islam hingga Perang Salib dan perebutan Konstantinopel, hingga pengepungan Vienna dan revolusi Persia di bawah komando Khomeini? Sebagaimana biasanya, ketika orang-orang Muslim dari Afrika Barat sampai Asia tengah dan Indonesia memandang bahwa al-Qur'an adalah firman Tuhan dan mengorientasikan hidup serta mati mereka sesuai dengan al-Qur'an, orang-orang Kristen seluruh dunia mengatakan "tidak". Malah bukan saja orang-orang Kristen, melainkan juga kemudian para sarjana agama Barat yang sekular, yang menganggap pasti bahwa al-Qur'an bukan firman Tuhan, tetapi sepenuhnya perkataan Muhammad.
Pada tahun 1962, seorang sarjana agama berkebangsaan Canada, Wilfred Cantwell Smith, menjadi orang pertama yang mengajukan pertanyaan tersebut di atas secara tajam, yang mengancam kedua belah pihak, dan membedah secara tepat bentuk pertanyaan itu sendiri.3 Kita tidak dapat melakukan apa-apa selain menyetujui pandangannya bahwa dua jawaban yang mungkin tersebut, yang keduanya cukup aneh, diajukan oleh orang-orang yang cerdas, kritis dan sepenuhnya jujur, sehingga tak perlu diragukan lagi dan telah menjadi dogmatic pre-conviction (pra-keyakinan dogmatis). Pada masing-masingnya, penafsiran yang berlawanan dianggap sebagai ketiadaan iman (kata orang-orang Muslim kepada orang-orang Kristen yang menolak al-Qur'an sebagai firman Tuhan) atau takhayul (kata orang-orang Kristen kepada orang-orang Muslim yang membenarkan al-Qur'an sebagai firman Tuhan).
Lalu, tidakkah benar, sebagaimana diklaim kolega Smith yang berkebangsaan Kanada, Willard Oxtoby, dalam menyusun suatu cara yang berdasarkan pengalaman, bahwa "you get out what you put in" (anda mengeluarkan apa yang anda simpan)? Dengan kata lain, tidakkah benar bahwa siapa pun yang menganggap al-Qur'an sebagai perkataan Tuhan sejak permulaan akan melihat berulang-ulang keyakinan-keyakinannya diteguhkan dengan membaca al-Qur'an, dan juga sebaliknya?
Tetapi dapatkah kita biarkan kontradiksi ini terus berjalan, biarpun untuk masa panjang hal tersebut sangat tidak memuaskan secara intelektual? Tidakkah terjadi pertambahan jumlah dari orang-orang Kristen dan bahkan mungkin orang-orang Muslim yang kemudian mendapat informasi lebih baik mengenai keimanan serta posisi orang lain, dan lalu membuat pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap diri sendiri? Saya akan mengulas secara singkat hal ini yang berkaitan dengan kedua posisi di atas:
a. Penyangsian kritis-diri terhadap pemahaman Kristen tentang wahyu. Bersamaan dengan semua pernyataan negatif mengenai cara-cara keliru, kegelapan, dan kesalahan dunia non-Kristen berikut seluruh seruan untuk bertobat, tidakkah juga kita dapatkan banyak pernyataan positif yang menyatakan bahwa Tuhan semula menampakkan diri-Nya kepada seluruh manusia? Sungguh, menurut Perjanjian Lama dan Baru, orang-orang non-Kristen juga bisa mengetahui Tuhan yang satu dan benar. Teks-teks ini sendiri menafsirkannya sebagai wahyu Tuhan dalam penciptaan.
Dengan memperhatikan latar belakang Biblikal, dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak terhitung jumlahnya di masa lalu dan sekarang telah dan tengah mengalami misteri Tuhan, dengan mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dalam penciptaan, dan semuanya ini pun melibatkan rahmat Tuhan dan keimanan manusia? Dan dapatkah kita meniadakan kemungkinan bahwa beberapa orang tertentu juga, dalam ikatan agama mereka, dianugerahi penglihatan khusus, diberi tugas khusus, karisma khusus? Dan dengan memperhatikan semua yang telah kita katakan, tidakkah hal itu semua bisa terjadi terhadap Muhammad, Sang Nabi? Extra ecclesiam gratia --ada juga rahmat di luar Gereja. Kalaulah memang begitu, jika kita mengenali Muhammad sebagai seorang nabi, maka agar konsisten kita pun harus mengakui bahwa bagi orang-orang Muslim segala sesuatu tergantung pada pesan Muhammad yang bukan buatannya sendiri, bukan firmannya sendiri, tetapi firman Tuhan. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan Firman Tuhan dan dengan wahyu?
b. Penyangsian kritis terhadap penafsiran Islam tentang al-Qur'an. Apakah wahyu seperti yang sudah diduga turun secara langsung dari langit, diinspirasikan tanpa salah atau didiktekan kata per kata dari Tuhan? Perlu diingat bahwa tidak hanya orang-orang Muslim meyakini hal ini, melainkan juga beberapa orang Kristen, biasanya dalam hubungan dengan Bibel. Di sini kita telah sampai pada persoalan yang penting sekali.
Bagaimanapun seseorang ingin menyelesaikan persoalan Islam tentang asal al-Qur'an, saat ini adalah penting bahwa al-Qur'an sebagai firman Tuhan dipandang pada waktu yang sama sebagai perkataan nabi yang manusiawi. Pandangan ini juga diakui bersama oleh refleksi ilmiah Muslim (semisal karya seorang Pakistan, Fazlur Rahman). Jadi al-Qur'an menyodorkan problema yang sama dengan Bibel. Dengan kata lain, kita dihadapkan pada pertanyaan yang janggal tetapi tidak dapat dielakkan: apabila kita mempunyai kritik historis terhadap Bibel (untuk kepentingan keimanan Biblikal kontemporer), kenapa pula kita tidak mempunyai kritik historis terhadap al-Qur'an, dan hal itu untuk kepentingan keimanan Muslim yang cocok bagi masa modern? Ketimbang menafsirkan al-Qur'an sebagai sebuah kumpulan peribahasa yang tetap, ajaran-ajaran kaku, dan pernyataan-pernyataan yang tidak pernah berubah mengenai hukum yang (terlepas dari kesulitan-kesulitan nyata yang ada) dengan sangat merendahkan diri harus direproduksi dan secara harfiah ditafsirkan dalam segala hal, bahkan mengenai aturan-aturan hukum, kenapa kita tidak menerima al-Qur'an sebagai kesaksian kenabian yang tinggi terhadap Tuhan yang satu, Tuhan yang paling berkuasa dan pemurah, Pencipta dan Penyempurna, dan terhadap pengadilan serta janji-Nya?
Bagaimanapun juga, saya tidak bisa melangkah lebih jauh menuju persoalan-persoalan hermeneutis dalam makalah ini. Saya lebih baik kembali kepada persoalan-persoalan isi. Sebelum saya mengulangi lagi perbedaan-perbedaan teologis, akan saya kemukakan beberapa persoalan mendasar tentang persesuaian antara Islam dan Kristen menyangkut penafsiran keimanan, yang mana orang-orang Yahudi juga termasuk. Saya akan lakukan hal ini menurut baris-baris deklarasi Konsili Vatikan Kedua tentang agama-agama non-Kristen.

D. Apa Unsur-unsur Sama yang Utama?

Hal-hal yang sama di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen dapat diringkas dalam empat aspek:
a. Hal sama yang mendasar di antara orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen terletak dalam keimanan kepada satu dan satu-satunya Tuhan, Tuhan yang memberikan makna dan hidup kepada segala sesuatu. Beriman kepada satu Tuhan bagi Islam adalah kebenaran prinsip yang ditegakkan sejak masa "Adam". Kesatuan ras manusia dan persamaan semua bangsa di muka Tuhan didasarkan pada konsep keesaan Tuhan. Dan apa pun yang mungkin dikatakan menyangkut doktrin Kristen tentang Trinitas, hal tersebut tidak untuk mempertanyakan kepercayaan pada satu dan satu-satunya Tuhan, tetapi untuk memperjelasnya secara sempurna. Ini berarti bahwa dalam menghadapi politeisme kafir, Yahudi, Kristen dan Islam adalah sama sebagaimana ketiga agama semitik ini menghadapi banyaknya tuhan-tuhan modern yang mengancam memperbudak rakyat Yahudi dan sebagai akibatnya Kristen telah menyingkirkan tuhan-tuhan lama Panteon jauh sebelum Islam.
b. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim menyimpan kesamaan pandangan dalam beriman kepada Tuhan sejarah: kepada Tuhan yang bukan, sebagaimana diyakini orang-orang Yunani, hanya arche atau prinsip pertama alam, dasar dari segala sesuatu, tetapi yang bertindak sebagai Pencipta dunia dan manusia dalam sejarah, Tuhan Yang Esa dari Ibrahim yang berbicara melalui para nabi dan mewahyukan diri-Nya pada manusia, sekalipun terus-menerus urusan-Nya tetap menjadi rahasia yang tak terpecahkan. Dalam sejarah, Tuhan sepenuhnya transenden, tetapi pada saat yang sama juga imanen, lebih dekat daripada "urat nadi," begitu kata perumpamaan plastik al-Qur'an, yang kemudian dikembangkan secara mendalam di dalam mistisisme Islam.
c. Orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim adalah satu pandangan dalam beriman kepada satu Tuhan yang --meskipun Ia gaib, mengatur dan menguasai segala sesuatu-- adalah partner yang dapat didekati. Dia dapat disapa saat shalat dan meditasi, dipuji dalam senang dan rasa syukur, tempat mengadu dalam keadaan perlu dan keputusasaan: Tuhan bagi manusia yang "bersimpuh di tumit-Nya lantaran rasa hormat dan kagum", "berdo'a dan berkurban", "bermusik dan berjoget", mengutip kata-kata berorientasi masa depan Martin Heidegger.
d. Akhirnya, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen dan orang-orang Muslim satu pandangan dalam beriman kepada Tuhan yang pemurah dan ramah, Tuhan yang menjaga manusia. Dalam al-Qur'an sebagaimana dalam Bibel, manusia dipandang sebagai "hamba Tuhan," yang tidak mengekspresikan perbudakan manusia di bawah seorang yang lalim, melainkan sifat kemakhlukan manusia yang elementer dalam meresponsi Tuhan yang satu. Kata Arab al-Rahman, "Yang Maha Pengasih", secara etimologis berhubungan dengan bahasa Ibrani (Hebrew, Yahudi) rahamim yang, bersama dengan hen dan hosed menjelaskan bidang semantik bagi kata charis dalam Perjanjian Baru, dan kata Inggris grace (gnade dalam bahasa jerman). Menurut bagian-bagian tersendiri dalam Bibel atau dalam al-Qur'an, Tuhan bisa menampilkan diri sebagai Tuhan yang tidak dapat diduga, namun menurut keseluruhan kesaksian Bibel dan al-Qur'an, Tuhan adalah Tuhan pengasih dan pemurah.
Bersama-sama di dunia ini, Yahudi, Kristen dan Islam dengan demikian mencerminkan keimanan kepada satu Tuhan; semuanya berbagi dalam satu gerakan dunia monoteistik yang besar. Secara politis, keimanan kepada satu Tuhan ini seharusnya tidak dianggap sepele; harus dijadikan perhatian manusia. Misalnya, sebagaimana keimanan ini telah memainkan peran dalam perjanjian Camp David, tentunya ia pun penting untuk upaya-upaya perdamaian selanjutnya di Timur Tengah. Maka jangan sekali-kali kita lupakan keimanan ini tatkala kita mendekati persoalan-persoalan teologis yang rumit, khususnya persoalan-persoalan mengenai Yesus dari Nazareth, Kristus orang-orang Kristen.

E. Apakah Penggambaran al-Qur'an tentang Yesus Tepat?

Sangat masyhur diketahui bahwa dalam beberapa hal al-Qur'an membicarakan Yesus dari Nazareth, dan selalu dengan nada positif. Ini mengherankan ketika seseorang memandang sejarah berabad-abad yang dipenuhi kebencian dan kutukan antara Kristen dan Islam. Bagaimana kita bisa menilai bagian-bagian ini secara teologis? Suatu penyelidikan yang lebih teliti terhadap "teks-teks al-Qur'an yang relevan dengan Kristen", yang diterjemah-ulang dan dijelaskan secara rinci oleh Claus Schedel di bawah judul Muhammad und Jesus, menunjukkan bahwa semua bahan yang berkaitan dengan Yesus di dalam al-Qur'an terintegrasi (terpadu) dengan suatu cara yang sepenuhnya koheren secara utuh ke dalam seluruh konsepsi teologis al-Qur'an. Dari tradisi apa pun kesaksian tentang Yesus ini berasal --dan kita akan menjelaskannya lebih dekat lagi-- seluruhnya secara menyolok dipenuhi dengan pengalaman profetik hebat Muhammad dengan Tuhan Yang Esa. Dengan alasan ini, Muhammad tidak mempunyai alasan apa pun untuk menyangkal Yesus: Seruan Yesus adalah juga seruan Muhammad. Persoalan virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dan mu'jizat-mu'jizat diakui al-Qur'an tanpa iri hati, dengan satu pengecualian: Yesus tidak mungkin dibuat menjadi tuhan, dan tidak mungkin diletakkan berdampingan dengan Tuhan yang esa sebagai seorang (tuhan) yang kedua. Bagi Islam, itu adalah sesuatu yang paling dibenci.
Posisi Yesus dalam al-Qur'an tidak ambigius (tidak meragukan). Dialog oleh karenanya tidak didukung secara efektif oleh orang-orang Kristen bermaksud baik masa kini yang lebih menafsirkan al-Qur'an ketimbang apa yang dikandungnya, yang mengklaim bahwa dalam al-Qur'an Yesus adalah firman Tuhan. Tetapi bukan Firman Tuhan dalam pengertian pada prolog Injil Yohanes, dimana logos ketuhanan yang pra-eksisten menjadi daging. Adapun mengenal virgin birth (kelahiran Yesus dari seorang perawan) dalam al-Qur'an, itu adalah tanda kemahakuasaan Tuhan, bukan justru karena ketuhanan Yesus. Dengan kata lain, menurut al-Qur'an Yesus adalah seorang nabi, seorang nabi yang lebih besar daripada Ibrahim, Nuh dan Mus a --tetapi tentu saja tidak lebih daripada seorang nabi. Dan persis seperti diterangkan dalam Perjanjian Baru, Yohanes (Yahya) sang Pembaptis adalah pendahulu (pratanda) Yesus, begitupun dalam al-Qur'an Yesus adalah pendahulu (pratanda), dan tidak diragukan contoh yang memberi dorongan bagi, Muhammad. Menurut al-Qur'an Yesus diciptakan langsung dari Tuhan sebagai Adam kedua (inilah sebenarnya arti virgin birth tersebut), tak seperti Muhammad. Yesus adalah, oleh karena itu, ciptaan Tuhan yang paling hebat.
Karena alasan ini, orang-orang Kristen harus menyingkirkan keinginan untuk membuat "orang-orang Kristen anonim" dari Muhammad dan orang-orang Muslim, sebagaimana beberapa teolog, menentang keseluruhan konsepsi orang-orang Muslim tentang diri mereka sendiri, sekali-sekali berusaha melakukan itu. Pada gilirannya hal ini akan dengan segera memunculkan pertanyaan apakah orang-orang Muslim harus menciptakan "seorang Muslim anonim" dari Kristus. Apabila kita yang mewakili Kristen peduli terhadap penilaian kembali Muhammad berdasarkan sumber-sumber Islam, khususnya al-Qur'an, kita juga berharap suatu hari ada kesiapan Islam untuk memulai penilaian kembali Yesus dari Nazareth berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada, berdasarkan Injil-Injil itu sendiri-sebagaimana yang telah dilakukan banyak orang dalam Yahudi. Potret Yesus dalam al-Qur'an terlalu berat sebelah, terlalu monoton, dan untuk sebagian besar kekurangan dalam isi, terlepas dari monoteisme, seruan untuk bertobat, dan berbagai cerita tentang mu'jizat-mu'jizat. Pokoknya, ini berbeda sekali dengan potret Yesus dalam sejarah, yang tidak saja menegakkan hukum, seperti direkam al-Qur'an, tetapi cenderung menentang seluruh legalisme dengan cinta radikal yang bahkan meluas untuk musuh-musuhnya sekalipun. Itulah sebabnya kenapa ia dieksekusi, walaupun Qur'an gagal mengakui hal ini. Dalam hal ini, perbedaan-perbedaan substansial muncul antara Yesus dan Muhammad. Keliru besar menganggap sepi hal-hal ini. Walau begitu, hambatan teologis utama terhadap sebuah pemahaman tidaklah untuk ditemukan di sini.

F. Apa Perbedaan Teologis Utama?

Perhatian utama Yesus sendiri adalah mengatasi legalisme dengan cara melaksanakan kehendak Tuhan dengan cinta, dengan mengingat kedatangan Kerajaan (Tuhan). Bagi gereja Kristen, perhatian utama secara perlahan dialihkan untuk sebagian besar kepada pribadi Yesus dan hubungannya dengan Tuhan. Perdebatan antara Kristen dan Islam kemudian tetap sepenuhnya terfokus pada masalah ini. Hingga sekarang keberatan Kristen terhadap Islam terletak pada bantahan Islam terhadap dua doktrin utama Kristen yang saling berkelindan: Trinitas dan inkarnasi. Sebenarnya, al-Qur'an berbicara kepada orang-orang Kristen sebagai berikut:
Wahai Ahl al-Kitab, janganlah kamu melampaui batas-batas agamamu. jangan katakan apa-apa tentang Allah kecuali yang benar. Al-Masih, Yesus putra Maria, tidak lebih dari rasul Allah dan Firman-Nya yang Dia sampaikan kepada Maria: ruh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan jangan katakan (tentang Allah, bahwa Dia adalah) tiga (dalam satu). Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Esa. Maha Suci Allah dari mempunyai seorang anak. (Q.S. al-Nisa/4: 171)
Apakah kenyatannya kita di sini telah, terlepas dari anggapan bahwa kita memiliki faktor-faktor yang sama dalam memahami Tuhan dan kemanusiaan, menjadi macet dalam berdialog? Tentu saja tak ada kebenaran di dalam pernyataan apologis-apologis Kristen dan banyak sarjana agama bahwa para teolog Muslim selalu keliru menafsirkan doktrin Kristen tentang Trinitas (tiga dalam satu) sebagai doktrin triteisme (tiga tuhan). (Al-Qur'an memang memuat tradisi yang keliru, boleh jadi didasarkan pada apokripa (tulisan-tulisan yang diragukan pengarangnya) tertentu, bahwa Trinitas terdiri dari Tuhan Bapak, Maria Ibu Tuhan, dan Yesus Anak Tuhan). Orang-orang Muslim semata-mata tidak dapat memahami apa yang juga selalu gagal dipahami oleh orang-orang Yahudi: bahwa kalau ada satu Ketuhanan, satu tabiat ilahi, maka mana mungkin ada asumsi tentang tiga pribadi dalam satu Tuhan yang secara otomatis tidak akan melepaskan keimanan pada satu Tuhan yang dianut Ibrahim, yang dipegang teguh oleh Musa, Yesus dan akhirnya Muhammad. Mengapa ada pula perbedaan antara tabiat dan pribadi dalam Tuhan?
Jelas bahwa perbedaan antara satu dan tiga yang dibuat oleh doktrin Kristen tentang Trinitas tidak memuaskan orang Muslim. Seluruh konsep yang berasal dari Syria, Yunani dan Latin ini lebih memusingkan ketimbang mencerahkan bagi orang Muslim, suatu permainan kata-kata dan konsep-konsep. Bagaimana mungkin satu dan satu-satunya Tuhan, tanya orang Muslim, menjadi suatu pencampuran hipostasis-hipostasis, pribadi-pribadi, prosesi-prosesi dan relasi-relasi? Kenapa semuanya menjadi trik-trik dialektis? Tidakkah Tuhan hanya Tuhan, yang tidak digabung dengan cara begini atau begitu?
Menurut al-Qur'an, "orang-orang tidak beriman adalah mereka yang mengatakan, Allah adalah salah satu dari tiga (atau berfaset-tiga dalam trinitas)." Pandangan ini, yang mentah-mentah tidak diterima Muhammad, bulat-bulat ditolak dengan pernyataan, "Tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa". (Q., s. al-Maidah/5:73).

Catatan kaki:

3 Wilfred Cantwell Smith, "Is the Qur'an the Word of God?," dalam Questions of Religious Truth (New York: Charies Schribner's Sons; and London: V. Gollanez Ltd.,1967).




No comments:

Post a Comment